0
Cerita pendek..
Posted by Unknown
on
07.18
in
cerpen
Jangan Menyerah
Di kehidupan yang keras ini ada sebuah kisah perjuangan hidup seorang penari jalanan dan putranya. Demi menghidupi putra semata wayangnya ia dan teman seperjuangannya menjalani kehidupan ini dengan ikhlas seperti apa yang sudah di takdirkan tuhan kepadanya.
Setiap pagi hari ia harus bersiap
untuk menjalani rutinitas kehidupannnya bersama putranya yang masih anak-anak.
Riasan yang tebal, konde dan kebaya adalah hal wajib yang musti ia kenanakan,
karena itulah tuntutan peran yang harus ia mainkan. Ditengah kesibukan,
sesekali putra semata wayangnya
menghiburnya “ Dorr (mengagetkan)..Ibu cantik !” lontar si anak dengan wajah
polosnya, dan sang ibu membalas nya dengan seutas senyuman. Putra semata
wayangnya yang terhitung masih kecil, bertugas membawa kecapi tua dan sebuah
radio butut. Disini dialah yang berperan penting untuk memainkan lantunan nada ketika sang Ibu
dan temannya yang juga penari jalanan tengah beratraksi.
Tiap hari sudut-sudut kota pasti mereka sambangi demi mendapatkan
kepingan koin receh ataupun lembaran uang kecil dari orang-orang yang
berlalu-lalang. Setiap detik sang penari harus melenggak –lenggokan tubuhnya
layaknya penari Jaipong di atas penggung, dan memasang wajah tersenyum bahagia
yang jelas bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Itulah
kehidupan karena apapun yang ia lakukan semata-mata hanya untuk putranya. “
Kita pasti bisa, jangan menyerah.” Ucapnya lirih menyemangati dirinya dan juga
putranya. Dengan wajahnya yang masih polos sang anak pun tetap tersenyum seakan
dia menikmati lalulalang orang dan mobil-mobil dihadapannya. Padahal setiap
hari ia harus mengalungi kecapi tua dilehernya dan memetik nada sesuai lagu
yang harus dimainkan.Kepolosan anaknya lah yang selama ini membuatnya terus
berkata “jangan menyerah.”. Kehidupan
dan rutinitas seperti inilah yang ia
jalani dengan segelintir penari jalanan lainnya.
Di balik haru perjuangan sang penari
yang tak lain adalah sosok seorang ibu, terselip tentang hal yang melatar
belakangi pekerjaannya. Semua yang ia lakukan hanya menghidupi putranya. Dan
suatu ketika di tengah terik matahari yang menyengat sang anak melihat ibunya
dan berkata “Ibu tidak lelah ?” ,jawab si Ibu “ Tidak, memangnya kamu lelah ?”
sembari menguraikan seutas senyuman. “Tidak.. kalau ibu tidak lelah aku juga
tidak lelah.” Jawab si anak seolah menyemangati ibunya. Tetapi tidak bisa
dipungkiri sang ibu memang tengah sakit parah, dan tak jarang pula ia batuk dengan mengeluarkan darah. Penyakit TBC
kronisnya, yang selama ini ia derita ia
paksakan untuk tidak ia rasakan dan berusaha kuat tidak mengeluh. “uhuk..uhuk
(batuk darah) ya Allah hamba rela jika engkau ambil nyawaku, tapi hamba
berharap jika engkau mengizinkan anakku menjadi orang berhasil kelak sebelum
hamba menutup mata.” Pinta sang ibu. Hanya karena ia tidak ingin anaknya tahu
itu semua. Padahal rasa sakit yang ia rasakan luar biasa. Sehingga tak hanya
perasaaan lelah yang sebenarnya ia rasakan tapi juga penyakit yang menggerogoti
tubuhnya.
Di kini di masa depan yang sudah
terjadi, sang anak telah menjadi seorang yang sukses. Bahkan kini ia sudah
duduk di banku kantoran sebagai seorang direktur yang berwibawa, dan juga sudah
mengendarai mobil pribadinya sendiri. Pada suatu ketika si direktur ini dilanda
masalah kantor yang membuatnya merasa lelah dan tidak sanggup lagi bertahan
hingga, dan ketika kemarahannya mencapai puncak ia sempat melemparkan semua apa
yang ada di depannya. Ia mencapai perasaaan kalut dan bingung harus berbuat
apa, dan suatu ketika saat ia mencari pelarian dari semua bebanya. “ Aku sudah
muak dengan semua ini!” ujarnya.Tidak sengaja saat mobil yang ia kendarai terhenti
di lampu merah di sudut kota ia mengigat masa lalunya. Masa kecilnya yang ia
lewati sebagai anak penari jalanan. Seperti berhalusinasi ia seperti melihat
dirinya tengah membawa kecapi tua dan ibunya tengah menari jaipong. Perasaan
haru kini menyelimuti wajahnya. Ia masih merasa tidak percaya dari posisinya
dulu sebagai pengamen di sudut-sudut kota kini ia bisa menjadi seorang direktur
yang sukses.
Di pagi yang cerah sang direktur
sengaja memnbawa ibunya yang kini sudah tua ketempat dimana mereka dulu
mengamen. Dari penampakan yang mereka lihat memang tidak ada yang berubah dari
tempat itu. Terkenang kejadian masa lalu, di saat itulah sang ibu menyadari
arti penting jangan menyerah, ketika semua yang ia harapkan tenyata kini dapat
terjadi “ Ibu merasa sedih mengigat apa yang dulu terjadi.”lontar sang ibu.”
Tapi kini ibu merasa bangga karena kini kamu sukses nak.”. Dan saat itu juga
sang anak yang kini direktur mandapatkan ilham agar tetap jangan menyerah
menjalani hidup, dan jangan menyerah ketika menghadapi suatu masalah dalam
hidup. Karena ia yakin tiap persoalan pasti akan ada jalan keluarnya ketika
kita tabah menjalaninya dan mencari solusinya, dan apa yang ia hadapi saat ini
jauh lebih sederhana dibandingkan perjuangan hidupnya bersama ibunya selama ini
untuk mencapai apa yang kini sudah ia dapatkani. Disitulah ia tersadar jika
kehidupan adalah suatu rentetan cobaan
yang panjang yang harus dilalui dengan perjuangan dan jangan menyerah untuk
tetap berjuang, seperti apa yang sudah pernah ia lewati bersama Ibunya,dan kata
terakhir yang keluar dari mulutnya adalah “ Untuk apa aku hidup kalau setelah
selama ini aku berjuang, sekarang aku menyerah?” “ Jangan menyerah!” pinta
ibunya lirih. Kebesaran hati ibunyalah yang tidak pernah membuatnya enggan
mengakui jika dulu ia adalah anak seorang penari jalanan.
inspirasi : Jangan menyerah (D'masiv )
Sunrice di Awan Tengger
Beranjak aku dari posisi
dudukku dan segera menuju ke kerumunan orang yang tengah sibuk memasukkan
koper-koper dan barang lainnya ke bagasi. “Bapak.. Ibu aku sudah siapp!” seruku
dengan berteriak, tapi karena saking sibuknya orang tuaku mereka bahkan seolah
tidak mendengarku. “Huh.. dasar rempong!” celetukku sebel. Setelah semua koper
sudah masuk terakhir barulah ranselku yang dimasukkan. “ Osa, ranselnya udah
kah ?” tanya ayahku memastikan ranselku dengan logat bicaranya yang agak aneh.
“ Udah , tuh tadi di tarkuk terakhir.” Jawabku. Setelah semuanya sudah beres
tinggallah kami masuk mobil yang
dikendarai oleh teman Ayahku. Dan ketika mesin mobil dinyalakan dan terdengar
suaranya, bulukudukku langsung merinding rasanya sudah tidak sabar aku untuk
segera sampai disana. Dari kaca mobil aku berpamitan dengan ibuku yang
kebetulan tidak bisa menemaniku karena, yahh. Banyak hal yang harus dikerjakan
untuk beberapa hari kedepan dan apalagi karena kakak ibuku yang di Kalimantan
akan datang beberapa jam setelah keberangkatannku ini, sedih rasanya berpisah
dengan ibuku dan berada di tempat yang jauh dari ibuku meskipun hanya untuk
beberapa hari saja. “ Tadi udah dicek semuanya ? gak ada yang ketinggalan khan
? “ tanya ibuku “ Udah, jaket, sweater, kaoskaki, topi rajut, sarung tangan ,
minyak kayu putih, udah semuanya di
tas.” Jawabku dengan senyuman yang sumringah. “ Hati-hati,nanti kalo udah
sampai sweter sama jaketnya dipake langsung….” Titah ibuku yang panjang sekali
“ Iya.. iya.”jababku singakat.“Udah siap yaa !” tanya pak supirnya pada semua
penumpang mobil termasuk aku “ Siap wes!” jabakami beramai-ramai. Mobilpun
dijalankan dan yaah kami siap mengawali perjalanan ini dengan semangat.
Dari kaca mobil aku
berteriak pada ibuku “ Wes ya aku berangkat , Assalamuallaikum!” . Dengan raut
wajah bahagia aku hanya bisa berbisik “ Tunggu aku Bromo !”. Ditengah
perjalanan yang cukup memakan waktu kini perasaan bosan mulai hinggap di
otakku, yang kulihat dari tadi hanya hamparan
sawah dan hutan hijau yang indah
tapi cukup memuakkan jika berjam-jam hanya itu yang kulihat. Kurang dari tiga
detik pandangan mataku jadi kabur dan bersamaan dengan itulah mataku tertutup,
dan tidurlah aku. Tiba-tiba udara dingin seperti menusuk tulang memaksaku untuk
bangun dari peristirahatanku yang terasa hanya sekejap saja. Tak bisa
dipungkiri udara segar yang keluar masuk hidungku dan pemandangan yang berbeda
dari sebelumnya membuatku lagi-lagi merinding keheranan. Ku takjub melihat apa
yang ada di depan mataku. Kami pun mulai memasukki wilayah Bromo Tengger Semeru
yang aku tau dari Joglo selamat datang
yang baru saja dilewati mobil kami. Melihat orang-orang tengger yang berduyun-duyun entah kemana, Ayahku pun
turun dari mobil dan segera menyakan alamat
tempat yang kami tuju yang tak lain kerabat ayahku. Dan setelah mendapat
informasinya kami lanjutkan perjalanan menuju tempat itu. Setelah melewati
jalan yang berkelok-kelok sampailah kami di kampung itu. Dan barulah pak
sopirnya menanyakan alamat pasti rumah tsb. Dan ternyata setelah melewati
beberapa rumah sampailah kami disana.
Satu hal yang aku dapatkan selama perjalanan mengitari wilayah tengger ini
yaotu masyarakat disini sangat ramah sekali jauh lebih ramah dari masyarakat di
kota tempat tinggalku, Malang.
Disambutlah kami oleh si
Pemilik rumah yang tak lain kerabat ayahku sendiri. Disana kami di izinkan
menempati satu rumah yang memang sudah mereka siapkan. Rumah yang kami tempati
letakknya kebetulan ada dipaling ujung dan di depan rumah langsung dapat kita
lihat hamparan perkebunan sayur- sayuran yang membentang hingga jauh sekali di
samping rumah . Mirip sekali dengan villa.
hingga Langsung kami menuju kamar kami masing-masing untuk
beristirahat. Aku kebetulan satu kamar
dengan Mbak Ari dan temannya, mereka
rekan bisnis ayahku, hehe. Sore harinya kami dipanggil si Pemilik rumah
untuk makan, disana dihidangkan berbagai menu yang aku tidak tahu satu persatu
namanya yang aku tau hanya rollade, sop merah
dan nasi goreng. Dan sisanya
spertinya makanan khas daerah sini. Langsung kita santap makanan yang ada di
depan mata. Usai makan, Ayahku mengajakku berkeliling-keliling ke sekitar sini
yang kebetulan didekat sana sedang ada
pasar malam. Ramai sekali suasana disana, dan rasanya tidak salah kami memilih
hari. Karena hari sudah mulai gelap aku
dan ayahku pulang. Dan ternyata orang-orang rumah malah sedang asyik nonton tv
dan ngopi. Karena masih banyak hal yang sudah aku planning untuk keesokan
harinya jadi aku memilih untuk tidur duluan.
Pagi harinya omku mengajakku
menyusuri perkebunan di samping rumah yang terbentang jauh hingga tak terlihat
ujungnya. Tapi aku menolaknya” nggak ah.. ndek sana dingin, males “. Ku memilih
untuk stay disini, mengambil beberapa
gambar dengan angel yang bagus. Setelah aku mulai merasa bosan karena hanya
mondar –mandir gak jelas dari tadi aku pun bersama Ayahku peri nonton Kuda
Lumping yang memang sedang berlangsung di halaman Balai Desa tak jauh dari
sana. Di sana bukannya liat jaran kepang aku malah makan bakso yang gerobakknya
berhenti didepan pos kamling.
Dan hal mengejutkan setelah
kami sampai dirumah adalah , rumah dalam keadaan terkunci dan tidak ada
seorangpun didalam. Aku dan ayahkuu mencari kemana-mana , berkeliling kampung
dan ternyata orang-orang malah nonton
pertandingan bola di rumah tetangga, karena hari ini memang jadwalnya
tim favorit mereka AREMA, melawan Persija di Jakarta. Tidak banyak yang kami lakukan selama disana
paling hanya makan jalan-jalan atau berdian dirumah. Dan malam harinya kami
semua membuat planning ke Bromo. Tujuan utama kita dari awal. Dan setelah
semuanya sudah matang, istirahatlah kami untuk mempersiapkan energi untuk esok
hari.
Dini hari, jam 03.00. aku
dibangunkan Mbak Ari dan disuruh segera mempersiapkan semuanya karena kita mau
berangkat ke bromo. Mataku yang masih setengah melek ini aku paksa
mempersiapkan semuanya. Aku ambil celana
, jaket, kaos kaki, sarung tangan ku ditas dan aku pakai semunnya , double
sudah pakaiannku kini kecuali atasanku yang triple karena ketambahan kaos. Dan
diluar sepengetahuannkau Ayahku malah harus kembali keMalang hari ini juga
bersamaan dengan keberangkatanku. Sedih dan kecewa rasanya, Satu hal yang
membuatku berat karena aku takut tanpa ayahku. Dilema rasanya, pulang atau
melanjutkan misiku. Tapi ya sudahlah.
Di pagi hari yang
benar-benar pagi kami menuju tempat
pembelian tiket sekaligus tempat penyewaan mobil jeep. Setelah bernegosiasi
dengan si pemilik jasa penyewaan Jeep kami akhirnya mendapat satu Jeep untuk
kita tumpangi. Disinilah perjalanan sesungguhnya dimulai. Jalan yang
berliku-liku dan tikungan tajam yang hampir tidak ada 60 derajat kami lewati.
Usai kami semua seperti dikocok-kocok dalam Jeep sampailah kami di tempat
pertama yaitu “Penanjakan “ , disini adalah tempat untuk para pengunjung
melihat sunrice tengger dengan jelas. Dan benar saja setelah kurang lebih
setengah jam terlihatlah sunrice dari balik gunung yang terlihat berkawah kotak
benar-benar indah sekali, warnanya yang orange gelap benar –benar indah sekali.
Aku benar-benar merasa takjub dan luar biasa bisa melihatnya secara langsung.
Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk mengabadikan moment ini dan berfoto pula
dengan turis-turis mancanegara disana. Dan ini adalah pengalaman pertama
bagiku, melihat sunrice di atas penanjakan yang berada di ketinggian entah
berapa dpl, yang jelas lebih tinggi dari kampung yang aku singgahi tadi dan
gunung Bromo sendiri.
Dari Penanjakan kami
bergegas menuju Gunung Bromo sendiri. Setelah Jeep mulai menjejakkan rodanya di
padang pasir Bromo, udara dingin sudah mulai terasa berkurang disini . Turun
dari Jeep kami memulai pendakian disini . Jalan setapak yang di penuhi batuan
dan kotoran kuda cukup mempersulit langkahku. Belum lagi bau dari kotoran kuda
yang menusuk hidungku semakin membuatku lemas. Beberapa kali kami berhenti
untuk sekerad menata nafas kami yang mulai kacau balau. Sengaja kami tidak
menggunakan jasa kuda, bukan karena tidak punya uang tapi karena kami tidak
ingin kalah dengan bule-bule yang
tingginya seperti tiang yang juga
mendaki bersama kami. Setelah kami berhasil menginjakkan kaki di anak
tangga yang pertama, sekali lagi kami beristirahat dan mengatur nafas. “
syukurlah sudah sampai sini, tinggal beberapa anak tangga sampailah aku. “ ucapku
lirih, mengira jika tangga yang aku lewati hanya sejengkal saja.
“Semangat!” celetuk omku
yang berdiridi sampingku. Mulailah kami menginjak satu-persatu anak tangganya.
Iseng-iseng aku dan Omku menghitung jumlah anak tangga yang kami lewati karena
mitosnya anak tangga yang kita hitung jumlanya selalu tidak pernah sama. Baru
aku sadari di tengah perjalanan, kalau
tangganya jumlannya ternayata lebih dari 150 anak tangga. “ Ya Allah..
Om aku capek.” Kataku. Disitu entah apa yang terjadi tiba-tiba pandanganku
mulai kabur dan badanku sudah seperti mati rasa . Omku yang melihat aku tampak
pucat langsung menyuruhku duduk dan menyodorkanku air mineral. Beberapa menit
berlalu aku putuskan melanjutkan nya karena aku tidak mau menyesal karena mengahirinya sekarang, ini butuh
perjuangan untuk melihat kawahnya dan sayang kalau harus berhenti di tengah
jalan. Persis seperti itulah kalimat yang aku jawabkan pada pertanyaan Omku
yang memang meragukan keadaan fisikku. Ditangga terakhir, tepatnya tangga ke
267 aku berhasil menepati janjiku pada bromo yang sudah menungguku. Perasaan
luar biasa yang aku rasakan saat ini. Denyut nadiku seperti terpacu, dan detak
jantungku semakin berdegup kencang. Rasa sedih, rindu, lelah semuanya lenyad
termakan fantasi baruku di Puncak Bromo tempat aku berpijak saat ini. Fantasi
baru ini melebur bersama dengan perasaan bahagia, senang , takjub dan tidak
percaya. “ Aku benar-benar berada di atas, di kawah bromo.” Ucapku dalam hati.
“ Udah.. lega khan udah bisa sampai di atas.” Kata Omku . Timpalku pada Om. “ Iya Om, lihaten tah ndek bawah Jeepnya
kelihatan sekecil kuku, dari sini lho kelihatan tinggi banget. Pendopo yang
ndek tengah lho yaa kelihatan kecil banget .”
Di sana aku melihat ada
beberapa penjual yang menjajakan bunga Adelwais yang aku tau adalah bunga yang
memang hanya ada di sini dan dikatakan sebagai bunga abadi, dan aku belilah
satu ikat bunga Adelwais untuk buah tangan sekaligus bukti kalau aku
benar-benar berhasil menginjakkan kaki di kawah Bromo. Tapi sayangnya ada satu
hal yang aku kecewa dari tempat ini adalah banyak selaki sampah yang aku lihat
di cekungan kawah Bromo, sepertinya pengunjung masih belum punya kesadarab
untuk merawat kelestarian Bromo salah satunya ya kebersihannya . Setelah puas menjepret banyak gambar, kami
turun ke bawah. Di perjalanan menuju padang pasir kami berulang kali
mengabadikan momen ini dengan berfoto yang kebetulan salah dua dari kami adalah seorang fotografer. Setelah puas
berfoto dan mengabadikan moment ini di ingatan. Kami memutuskan untuk kembali
ke kota asal kami, Malang.
Perjalanan singkatku di
Tengger benar-benar menyisakan jejak di ingatanku. Penduduk, tradisi, makanan,
pemandangan, dan Bromonya benar-benar melekat di hati. Dan satu hal yang tidak
akan pernah aku lupakan dari Bromo adalah , disini adalah pertama kalinya aku
menjemput si nyala orange dari balik Gunung Bromo yang dingin.
oleh : Osyadha.R
Posting Komentar